2 Timotius 4:7, “Aku telah
mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku
telah memelihara iman.”
PENDAHULUAN
Saudara, memulai
sesuatu yang baru, dibutuhkan tekad dan kemauan yang keras, namun untuk meneruskannya
sampai tiba pada limit atau batas akhir, dibutuhkan tekad dan kemauan yang
ekstra keras. Misalnya, seorang pemuda
yang mempunyai kesempatan untuk kuliah, ia memulainya dengan baik, namun
dibutuhkan ketekunan ekstra supaya ia bisa menyelesaikannya. Karena ada orang-orang yang saya kenal, yang
tidak menyelesaikan kuliah atau skripsinya sampai selesai.
Orang-orang yang berhasil menyelesaikan sampai selesai apa yang telah ia
mulailah yang bisa disebut dengan orang-orang yang finishing well, yang
mengakhiri dengan baik apa yang telah ia mulai.
Saudara, di awal kotbah
saya ini, saya ingin memperkenalkan saudara dengan dua orang tokoh. Tokoh yang pertama adalah wanita ini. Siapakah dia? Dia bukan mama saya atau nenek saya. Ia adalah Zoe Koplowitz. Apa istimewanya dia? Apakah dia seperti Susan Boyle yang tampangnya tidak meyakinkan tetapi memukau semua orang dengan suaranya? Bukan… Dia adalah peserta lari maraton terlambat, bukan terlambat datang, tapi paling lambat alias peserta terakhir yang mencapai finish. Kalau juara pertamanya sampai finish dalam waktu 2 jam 9 menit. Lalu Zoe? 28 jam 45 menit! Wow… Mengapa bisa demikian?
Harap maklum karena Zoe hanya bisa berjalan tertatih dengan dua tongkat penyangganya. Di usianya yang ke 59, ia telah mengikuti perlombaan maraton itu sebanyak 20 kali. Setiap tahun ia mengikuti perlombaan lari maraton di New York, Amerika dan ia selalu menjadi peserta terakhir yang tiba di finish. Zoe mengikuti perlombaan tersebut bukan untuk menjadi juara. Ia hanya ingin membuktikan bahwa kelumpuhan yang telah ia derita kurang lebih selama 30 tahun itu, tidak membuatnya berhenti berjuang. Buktinya? Walaupun dengan bersusah payah, ia selalu mencapai finish!
Tokoh yang kedua adalah pria ini. Apakah saudara mengenal pria ini? Dia bukan papa saya, bukan juga engkong saya. Dia bukan anggota boy band yang lagi ngetrend, bukan juga seorang polisi atau selebriti. Dia adalah John Stephen Akhwari. Kebanyakan dari kita mungkin tidak mengenalnya. Namun, dulu ia sangat terkenal sehingga namanya dijadikan tempat pelatihan atlet untuk Olimpiade di Tanzania. Dia memang berasal dari Tanzania, tepatnya di suatu tempat yang bernama Mbulu, Tanganyika. Dia dikenal karena dedikasinya pada dunia olahraga dan kecintaannya kepada negaranya.
Harap maklum karena Zoe hanya bisa berjalan tertatih dengan dua tongkat penyangganya. Di usianya yang ke 59, ia telah mengikuti perlombaan maraton itu sebanyak 20 kali. Setiap tahun ia mengikuti perlombaan lari maraton di New York, Amerika dan ia selalu menjadi peserta terakhir yang tiba di finish. Zoe mengikuti perlombaan tersebut bukan untuk menjadi juara. Ia hanya ingin membuktikan bahwa kelumpuhan yang telah ia derita kurang lebih selama 30 tahun itu, tidak membuatnya berhenti berjuang. Buktinya? Walaupun dengan bersusah payah, ia selalu mencapai finish!
Tokoh yang kedua adalah pria ini. Apakah saudara mengenal pria ini? Dia bukan papa saya, bukan juga engkong saya. Dia bukan anggota boy band yang lagi ngetrend, bukan juga seorang polisi atau selebriti. Dia adalah John Stephen Akhwari. Kebanyakan dari kita mungkin tidak mengenalnya. Namun, dulu ia sangat terkenal sehingga namanya dijadikan tempat pelatihan atlet untuk Olimpiade di Tanzania. Dia memang berasal dari Tanzania, tepatnya di suatu tempat yang bernama Mbulu, Tanganyika. Dia dikenal karena dedikasinya pada dunia olahraga dan kecintaannya kepada negaranya.
Apa sebenarnya
yang ia lakukan? Ia adalah seorang
pelari maraton yang mengikuti Olimpiade Musim Panas di Mexico City pada tahun
1968. Di awal perlombaan, ia terjatuh
sehingga engsel sendi lututnya lepas. Lalu
apa yang terjadi kemudian?
Akhwari sadar
betul kalau negaranya adalah negara yang miskin, yang tidak mengirimkannya
untuk sekedar memulai perlombaan. Akhwari
tidak ingin membuat negara dan rakyatnya kecewa sehingga ia berusaha untuk
menyelesaikan perlombaan tersebut meskipun ia tidak berhasil menjuarainya.
Saudara, kedua orang
tersebut mengajarkan kepada kita untuk bukan hanya memulai pertandingan, namun
terus berjuang sampai mencapai garis akhir walaupun mendapatkan kesulitan yang
luar biasa. Zoe, walaupun mempunyai kelemahan tubuh, namun ia tidak pernah berhenti di tengah-tengah perlombaan tersebut. Sedangkan Akhwari, tetap melanjutkan perlombaan walaupun hanya menjadi orang yang ke-57 yang mencapai garis akhir/finish di antara
74 orang yang mengikuti perlombaan tersebut.
Saudara, ini hanya
perlombaan lari maraton, bagaimana dengan pertandingan iman yang harus diikuti oleh
setiap orang Kristen yang percaya kepada Tuhan Yesus? Apakah setiap pengikut Tuhan juga akan
memulai dan mengakhiri pertandingan tersebut dengan baik? Atau ada pengikut Tuhan yang berhenti di
tengah jalan dalam pertandingan tersebut?
ISI
Saudara,
mari kita sama-sama belajar dari tokoh Paulus yang berani mengatakan bahwa ia telah
mengakhiri pertandingan yang baik, ia telah mencapai garis finish dan ia telah
memelihara iman. Apa sebabnya Paulus
mengatakan perkataan tersebut? Dia kan belum meninggal, dia masih hidup.
Biasanya kan ayat ini merupakan ayat favorit yang dibacakan atau
dikotbahkan ketika seseorang meninggal dunia.
Namun, pada saat itu, Paulus masih hidup.
Untuk mengerti hal ini, mari kita melihat latar belakang surat 2 Timotius ini. Ternyata surat 2 Timotius
adalah surat yang terakhir ditulis oleh Rasul Paulus dan di saat itu, dia
sedang dalam pemenjaraan di Roma. Diduga
Rasul Paulus dipenjarakan lebih dari sekali. Jadi setidaknya 2 kali dia
dipenjarakan dan rupanya dia sudah bisa membaca situasi waktu pemenjaraan yang
terakhir ini bahwa dia tidak akan selamat lagi, bahwa dia akan dibunuh, karena
pada saat itu yang memerintah adalah Kaisar Nero.
Kaisar Nero adalah seorang pemimpin
Roma yang membenci orang Kristen. Dan
pada suatu kali, Kaisar Nero menyebabkan kebakaran yang melanda kota Roma. Tapi
untuk menutupi jejaknya, dia menuding bahwa orang Kristenlah yang telah
menyebabkan kebakaran itu. Kemudian dia menghasut, mengompori orang-orang di
Roma untuk mengejar dan membunuh orang-orang Kristen. Nah, dalam kondisi
seperti itulah Rasul Paulus dan juga Rasul Petrus ditangkap dan dipenjarakan
oleh Kaisar Nero.
Menurut catatan tradisi, kedua
hamba Tuhan ini akhirnya mati di tangan Kaisar Nero. Jadi, besar kemungkinan,
pada saat itu, Paulus melihat bahwa sekarang dia di tangan kaisar yang sangat
lalim, kejam dan begitu bernafsu untuk membunuh orang-orang Kristen. Sehingga bisa dibayangkan bahwa nanti dia
juga akan terkena, ia juga akan mati dibunuh.
Saudara, Paulus giat melayani Tuhan
kesana kemari, namun hasilnya apa? Dia
dipenjarakan. Saya tidak berbicara dalam
arti bahwa setiap orang yang giat melayani Tuhan akan dipenjarakan. Namun, pada saat itu, ketika Paulus melayani
Tuhan, memberitakan Injil kemana-mana, ada orang-orang yang tidak suka dengan
pemberitaan Injil yang Paulus lakukan sehingga ia dipenjarakan. Dan dalam kondisi dipenjarakan itu, ia diperhadapkan
dengan masa depan yang tidak dapat ia hindari, yaitu kematian. Bukan kematian normal, tapi kematian tragis
karena terancam akan dibunuh oleh kaisar yang lalim.
Saudara, jika kita berada dalam kondisi
seperti Paulus saat itu, bagaimana?
Mungkin kita akan berusaha dengan 1001 macam cara untuk bisa lepas dari
penjara, mungkin kita akan segera mencari pengacara, atau memberikan uang
jaminan dan sebagainya. Namun, bagaimana
dengan Paulus? Dalam kondisi bahwa ia
tahu waktu hidupnya sudah hampir habis, ia tetap produktif melayani Tuhan. Dengan cara apa? Dengan cara memberikan nasihat dan penguatan kepada
rekan-rekan pelayanannya. Dalam bagian
surat 2 Timotius ini, Paulus memberikan nasihat dan penguatan terhadap Timotius
agar Timotius dapat menjadi penerus tongkat estafet kepemimpinannya dalam melayani
Tuhan.
Saudara, inilah Paulus, ia tidak menyerah
dalam keadaan yang sulit, ia tidak mengalah dengan keadaan, ia tidak protes
kepada Tuhan, ia tidak bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa ia dipenjarakan, ia
tidak meniggalkan Tuhan sedikit pun.
Namun ia tetap menjadi berkat bagi rekan-rekan pelayanannya. Sungguh luar biasa bukan?
Melihat kehidupan Paulus, yang
tidak menyerah dengan keadaan, yang tidak protes terhadap Tuhan, saya teringat
kepada beberapa tokoh lainnya di dalam Alkitab.
Yang pertama adalah Ayub. Tentu saudara mengetahui mengenai kisah
Ayub yang pernah mengalami penderitaan hidup.
Ia adalah seorang yang saleh dan jujur.
Ia bukanlah orang jahat, namun suatu saat penderitaan bertubi-tubi
menimpanya. Anak-anak dan semua
kekayaannya lenyap dalam satu hari. Ia
pun mengalami penyakit yang luar biasa.
Isterinya menyuruhnya untuk mengutuki Allah. Bahkan sahabat-sahabatnya pun pada akhirnya
menuduh bahwa Ayub telah melakukan suatu dosa.
Apakah Ayub menyerah dengan keadaan?
Apakah Ayub mengutuki Allah?
Apakah Ayub tidak lagi percaya kepada Allah? Kita tahu bahwa Ayub tidak menyerah dengan
keadaan dan ia tidak mengutuki Allah.
Ayub tidak ragu akan rencana Allah yang terindah dalam dirinya meskipun
ia diperhadapkan dalam kondisi yang tidak mengenakkan. Malahan di dalam penderitaan yang ia alami, Ayub berkata,
“Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayb. 1:21) Ia tahu bahwa sebenarnya ia tidak mempunyai
apa-apa. Segala harta dan bahkan
anak-anaknya adalah titipan dari Tuhan untuk ia kelola. Ia tahu bahwa jika Tuhan yang telah memberi
semuanya itu, lalu kemudian kembali mengambil apa yang telah Tuhan titipkan
kepada Ayub tersebut, maka itu sepenuhnya adalah hak Tuhan. Dan ia tetap mengucap syukur. Di akhir kehidupannya, kita tahu bahwa Allah
memulihkan keadaan Ayub.
Tokoh kedua yang mengajar kita untuk tidak menyerah dalam situasi hidup adalah
Yusuf. Yusuf adalah anak kesayangan
ayahnya, Yakub. Ia pernah bermimpi dua
kali bahwa ayah, ibu dan saudara-saudaranya akan sujud menyembah
kepadanya. Namun, justru karena itulah
ia tidak disukai oleh kakak-kakaknya sehingga kakak-kakaknya berbuat
seolah-olah Yusuf diterkam binatang buas padahal Yusuf telah dijual dan dibawa
ke Mesir. Di Mesir, Yusuf menjadi
pegawai Potifar. Namun, karirnya menjadi
pegawai Potifar kandas karena ia difitnah oleh istri Potifar, sehingga ia
dijebloskan ke dalam penjara. Beberapa
lama kemudian, di penjara ia bertemu dengan juru minum dan juru roti raja, dan
oleh pertolongan Tuhan, Yusuf memberitahukan kepada mereka mengenai arti mimpi
mereka masing-masing. Namun, setelah
juru minum kembali bekerja di posisinya, ia melupakan Yusuf.
Apakah Yusuf memberontak kepada Tuhan?
Apakah Yusuf mempertanyakan kepada Tuhan mengenai mimpi yang telah ia terima
waktu ia masih kecil? Apakah ia pernah
mengutuki saudara-saudaranya karena membuat ia seolah-olah tidak dapat mencapai
mimpinya? Tidak saudara. Dan kita tahu bahwa dua tahun setelah juru
minum raja keluar dari penjara, Firaun bermimpi dan tidak seorang pun dapat
mengartikan mimpinya. Maka pada saat
itulah juru minuman raja teringat kepada Yusuf.
Yusuf, dengan pertolongan Tuhan dapat mengartikan mimpi Firaun, sehingga
ia diangkat menjadi penguasa di Mesir.
Yusuf tidak membalas dendam kepada saudara-saudaranya yang telah mengakibatkan
dia tertimpa menderita. Namun ia
berkata kepada saudara-saudaranya, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat
terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan
maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup
suatu bangsa yang besar” (Kej. 50:20). Yusuf tahu bahwa Allah selalu beserta dengannya. Bahkan dalam saat yang paling suram pun Allah
hadir. Allah selalu campur tangan dalam
kehidupannya dan Allah tidak pernah diam.
SS,
baik Ayub maupun Yusuf tahu bahwa Allah bekerja dalam kehidupannya untuk
mendatangkan kebaikan. Saya rasa
mereka pun setuju dengan perkataan Paulus dalam Roma 8:28, “Kita tahu sekarang,
bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi
mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan
rencana Allah.”
Saudara, bagaimana
dengan kehidupan kita sampai pada saat ini?
Sampai saat ini, saya rasa kita masih bisa hidup bebas, tidak seperti
Paulus yang dipenjarakan karena pemberitaan Injil. Kita mungkin tidak seperti Ayub yang
kehilangan segala yang ia miliki. Kita mungkin
tidak seperti Yusuf yang seolah kehilangan masa depannya. Namun, apakah hidup kita tetap memuliakan
Allah?
Beberapa hari lagi kita akan memulai tahun yang baru. Biasanya,
saat akhir tahun adalah saat yang tepat untuk kita bisa berefleksi, melihat
kembali kilas balik kehidupan kita selama setahun ini. Banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan
kita, namun apakah kita sudah mengucap syukur atas segala hal yang telah
terjadi? Mengucap syukur atas pimpinan
Tuhan atas kehidupan saudara; untuk pekerjaan yang masih saudara tekuni, untuk kesehatan yang masih
Tuhan berikan, untuk setiap kesempatan baik dalam hal studi, peningkatan karir, bahkan kesempatan
berlibur yang masih Tuhan berikan kepada kita.
Saudara, mengucap
syukur bukan hanya karena apa yang terjadi dalam hidup kita, namun juga karena
apa yang terjadi atas hidup keluarga dan sesama kita. Mengucap syukur atas keluarga yang boleh
diberkati oleh Tuhan, atas anak-anak
yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kita didik. Mengucap syukur untuk para saudara dan
sahabat yang peduli terhadap kita.
Mengucap syukur karena ada sahabat atau pun kerabat yang percaya kepada
Tuhan Yesus sebagai juruselamat pribadinya.
Oh, banyak hal yang bisa kita syukuri dalam hidup ini, saudara.
Namun, apakah kita
hanya mengucap syukur untuk sesuatu yang baik saja yang terjadi atas diri kita,
maupun keluarga dan orang-orang yang kita kasihi? Mungkin di antara saudara ada yang berkata
bahwa, bagaimana saya bisa bersyukur kepada Tuhan, karena tahun ini saya
kehilangan orang yang saya kasihi, karir dan pekerjaan saya hancur berantakan, saya
kena tipu habis-habisan, saya atau orang yang saya kasihi sakit. Bagaimana mungkin saya dapat mengucap syukur?
Saudara, Ayub ketika ia
ditimpa kesusahan, ia berkata, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah,
tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb. 2:10). Dengan kata lain, Ayub tahu bahwa dalam hal
yang buruk pun, Allah tetap bekerja dan Allah tetap mempunyai rencana yang
indah bagi kehidupannya. Sama seperti
Yusuf yang walaupun ia pernah sampai pada titik terendah dalam kehidupannya,
namun ia tahu bahwa Allah selalu merancangkan yang terbaik bagi orang yang
percaya kepada-Nya.
Kembali mengutip
perkataan Paulus, bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan bagi setiap orang percaya. Pada
saat ini mungkin kita belum mengerti, namun yakinlah bahwa setiap hal yang
terjadi dalam hidup kita selalu ada campur tangan Allah di dalamnya. Allah selalu beserta dengan kita, setiap
orang yang percaya kepada-Nya. Saya
teringat lagu sekolah minggu yang reff nya berbunyi demikian, “di kanan Kau
ada, di kiri Kau ada, di atas dan di bawah Kau ada. Di suka Kau ada, di duka pun Kau ada, kar’na
Engkaulah Yesusku.” Saudara, Allah selalu
hadir dalam setiap naik turun kehidupan kita.
Saat kita bersuka, Allah ada dan Allah pun turut bersuka dan
tersenyum. Saat kita sedih dan menangis
pun, Allah ada dan turut menangis bersama dengan kita. Allah selalu hadir dalam kehidupan kita, baik
ketika kita melalui gunung tinggi maupun lembah yang curam, Allah selalu hadir. Oleh karena itu, mari kita belajar untuk
mengucap syukur karena Allah selalu beserta kita, Allah selalu merancangkan
yang terbaik bagi setiap orang percaya.
Selanjutnya, marilah kita mengevaluasi kehidupan kita di hadapan Tuhan. Apakah sampai saat ini hidup kita sudah
memperkenan hati Tuhan atau belum.
Paulus, ketika ia mengevaluasi hidupnya, ia bisa berkata bahwa “Aku
telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku
telah memelihara iman.” Paulus tahu
benar bahwa ia telah melakukan apa yang Tuhan mau ia kerjakan dalam
kehidupannya. Saudara, apakah sampai saat
ini, kita sudah melakukan apa yang Tuhan inginkan dalam kehidupan kita? Apakah kita sudah senantiasa berdoa kepada
Tuhan dan membaca merenungkan firman Tuhan setiap hari? Apakah kita sudah melayani Tuhan? Apakah dalam perkataan, perbuatan dan pikiran
kita tercermin Kristus yang hidup di dalam kita?
Jika belum berdoa
dan membaca firman Tuhan setiap hari, mari kita bertekad dan melaksanakan tekad
tersebut di hadapan Tuhan. Jika kita
belum melayani Tuhan, mari belajar untuk melayani-Nya. Jika hidup kita belum mencerminkan Kristus
yang ada dalam diri kita, mari kita belajar untuk menjadi pelaku firman. Biarlah setiap kita dapat menjadi murid-murid
Tuhan yang semakin lama semakin serupa dengan Kristus baik dalam pikiran,
perkataan dan perbuatan kita sehingga nama Tuhan dimuliakan melalui hidup kita
dan banyak orang diberkati lewat kehidupan kita.
Mari, di akhir
tahun ini kita sama-sama mengucap syukur atas pimpinan Tuhan dalam hidup kita
dan mengevaluasi hidup kita di hadapan Tuhan agar kita boleh menjadi
murid-murid Tuhan yang berkenan kepada Tuhan.
Sehingga pada akhirnya kita dapat berkata seperti Paulus berkata, “Aku
telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku
telah memelihara iman.” Amin.
Minggu, 30 Desember 2012
Kuta-Bali
Minggu, 30 Desember 2012
Kuta-Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar