Senin, 14 Januari 2013

Finishing Well


            2 Timotius 4:7, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman.”

PENDAHULUAN
        Saudara, memulai sesuatu yang baru, dibutuhkan tekad dan kemauan yang keras, namun untuk meneruskannya sampai tiba pada limit atau batas akhir, dibutuhkan tekad dan kemauan yang ekstra keras.  Misalnya, seorang pemuda yang mempunyai kesempatan untuk kuliah, ia memulainya dengan baik, namun dibutuhkan ketekunan ekstra supaya ia bisa menyelesaikannya.  Karena ada orang-orang yang saya kenal, yang tidak menyelesaikan kuliah atau skripsinya sampai selesai.  Orang-orang yang berhasil menyelesaikan sampai selesai apa yang telah ia mulailah yang bisa disebut dengan orang-orang yang finishing well, yang mengakhiri dengan baik apa yang telah ia mulai.
            Saudara, di awal kotbah saya ini, saya ingin memperkenalkan saudara dengan dua orang tokoh.  Tokoh yang pertama adalah wanita ini.   Siapakah dia?  Dia bukan mama saya atau nenek saya.  Ia adalah Zoe Koplowitz.  Apa istimewanya dia? Apakah dia seperti Susan Boyle yang tampangnya tidak meyakinkan tetapi memukau semua orang dengan suaranya?  Bukan…  Dia adalah peserta lari maraton terlambat, bukan terlambat datang, tapi paling lambat alias peserta terakhir yang mencapai finish.  Kalau juara pertamanya sampai finish dalam waktu 2 jam 9 menit.  Lalu Zoe?  28 jam 45 menit!  Wow… Mengapa bisa demikian? 
            Harap maklum karena Zoe hanya bisa berjalan tertatih dengan dua tongkat penyangganya.  Di usianya yang ke 59, ia telah mengikuti perlombaan maraton itu sebanyak 20 kali.  Setiap tahun ia mengikuti perlombaan lari maraton di New York, Amerika dan ia selalu menjadi peserta terakhir yang tiba di finish.  Zoe mengikuti perlombaan tersebut bukan untuk menjadi juara.  Ia hanya ingin membuktikan bahwa kelumpuhan yang telah ia derita kurang lebih selama 30 tahun itu, tidak membuatnya berhenti berjuang.  Buktinya?  Walaupun dengan bersusah payah, ia selalu mencapai finish!
              Tokoh yang kedua adalah pria ini.  Apakah saudara mengenal pria ini?  Dia bukan papa saya, bukan juga engkong saya.  Dia bukan anggota boy band yang lagi ngetrend, bukan juga seorang polisi atau selebriti.  Dia adalah John Stephen Akhwari.  Kebanyakan dari kita mungkin tidak mengenalnya.  Namun, dulu ia sangat terkenal sehingga namanya dijadikan tempat pelatihan atlet untuk Olimpiade di Tanzania.  Dia memang berasal dari Tanzania, tepatnya di suatu tempat yang bernama Mbulu, Tanganyika.  Dia dikenal karena dedikasinya pada dunia olahraga dan kecintaannya kepada negaranya. 
            Apa sebenarnya yang ia lakukan?  Ia adalah seorang pelari maraton yang mengikuti Olimpiade Musim Panas di Mexico City pada tahun 1968.  Di awal perlombaan, ia terjatuh sehingga engsel sendi lututnya lepas.  Lalu apa yang terjadi kemudian?  
            Sambil menahan nyeri dan demam yang ia derita, John Stephen Akhwari tetap melanjutkan perlombaan sampai ia mencapai garis finish.  Ia sampai di garis finish satu jam setelah pemenang perlombaan diumumkan.  Namun, apa yang ia lakukan menyentuh hati para penonton yang masih ada di stadion.   Ketika ia ditanya mengapa dia terus berlari, ia hanya berkata, "Negaraku tidak mengirim aku sejauh 5000 mil ke Mexico City untuk memulai perlombaan.  Mereka mengirim aku untuk menyelesaikannya."
            Akhwari sadar betul kalau negaranya adalah negara yang miskin, yang tidak mengirimkannya untuk sekedar memulai perlombaan.  Akhwari tidak ingin membuat negara dan rakyatnya kecewa sehingga ia berusaha untuk menyelesaikan perlombaan tersebut meskipun ia tidak berhasil menjuarainya.  
            Saudara, kedua orang tersebut mengajarkan kepada kita untuk bukan hanya memulai pertandingan, namun terus berjuang sampai mencapai garis akhir walaupun mendapatkan kesulitan yang luar biasa.  Zoe, walaupun mempunyai kelemahan tubuh, namun ia tidak pernah berhenti di tengah-tengah perlombaan tersebut.  Sedangkan Akhwari, tetap melanjutkan perlombaan walaupun hanya menjadi orang yang ke-57 yang mencapai garis akhir/finish di antara 74 orang yang mengikuti perlombaan tersebut.   
            Saudara, ini hanya perlombaan lari maraton, bagaimana dengan pertandingan iman yang harus diikuti oleh setiap orang Kristen yang percaya kepada Tuhan Yesus?  Apakah setiap pengikut Tuhan juga akan memulai dan mengakhiri pertandingan tersebut dengan baik?  Atau ada pengikut Tuhan yang berhenti di tengah jalan dalam pertandingan tersebut?

ISI
            Saudara, mari kita sama-sama belajar dari tokoh Paulus yang berani mengatakan bahwa ia telah mengakhiri pertandingan yang baik, ia telah mencapai garis finish dan ia telah memelihara iman.  Apa sebabnya Paulus mengatakan perkataan tersebut?  Dia kan belum meninggal, dia masih hidup.  Biasanya kan ayat ini merupakan ayat favorit yang dibacakan atau dikotbahkan ketika seseorang meninggal dunia.  Namun, pada saat itu, Paulus masih hidup. 
            Untuk mengerti hal ini, mari kita melihat latar belakang surat 2 Timotius ini.  Ternyata surat 2 Timotius adalah surat yang terakhir ditulis oleh Rasul Paulus dan di saat itu, dia sedang dalam pemenjaraan di Roma.  Diduga Rasul Paulus dipenjarakan lebih dari sekali. Jadi setidaknya 2 kali dia dipenjarakan dan rupanya dia sudah bisa membaca situasi waktu pemenjaraan yang terakhir ini bahwa dia tidak akan selamat lagi, bahwa dia akan dibunuh, karena pada saat itu yang memerintah adalah Kaisar Nero. 
            Kaisar Nero adalah seorang pemimpin Roma yang membenci orang Kristen.  Dan pada suatu kali, Kaisar Nero menyebabkan kebakaran yang melanda kota Roma. Tapi untuk menutupi jejaknya, dia menuding bahwa orang Kristenlah yang telah menyebabkan kebakaran itu. Kemudian dia menghasut, mengompori orang-orang di Roma untuk mengejar dan membunuh orang-orang Kristen. Nah, dalam kondisi seperti itulah Rasul Paulus dan juga Rasul Petrus ditangkap dan dipenjarakan oleh Kaisar Nero.
            Menurut catatan tradisi, kedua hamba Tuhan ini akhirnya mati di tangan Kaisar Nero. Jadi, besar kemungkinan, pada saat itu, Paulus melihat bahwa sekarang dia di tangan kaisar yang sangat lalim, kejam dan begitu bernafsu untuk membunuh orang-orang Kristen.  Sehingga bisa dibayangkan bahwa nanti dia juga akan terkena, ia juga akan mati dibunuh.
            Saudara, Paulus giat melayani Tuhan kesana kemari, namun hasilnya apa?  Dia dipenjarakan.  Saya tidak berbicara dalam arti bahwa setiap orang yang giat melayani Tuhan akan dipenjarakan.  Namun, pada saat itu, ketika Paulus melayani Tuhan, memberitakan Injil kemana-mana, ada orang-orang yang tidak suka dengan pemberitaan Injil yang Paulus lakukan sehingga ia dipenjarakan.  Dan dalam kondisi dipenjarakan itu, ia diperhadapkan dengan masa depan yang tidak dapat ia hindari, yaitu kematian.  Bukan kematian normal, tapi kematian tragis karena terancam akan dibunuh oleh kaisar yang lalim. 
            Saudara, jika kita berada dalam kondisi seperti Paulus saat itu, bagaimana?  Mungkin kita akan berusaha dengan 1001 macam cara untuk bisa lepas dari penjara, mungkin kita akan segera mencari pengacara, atau memberikan uang jaminan dan sebagainya.  Namun, bagaimana dengan Paulus?  Dalam kondisi bahwa ia tahu waktu hidupnya sudah hampir habis, ia tetap produktif melayani Tuhan.  Dengan cara apa?  Dengan cara memberikan nasihat dan penguatan kepada rekan-rekan pelayanannya.  Dalam bagian surat 2 Timotius ini, Paulus memberikan nasihat dan penguatan terhadap Timotius agar Timotius dapat menjadi penerus tongkat estafet kepemimpinannya dalam melayani Tuhan.
            Saudara, inilah Paulus, ia tidak menyerah dalam keadaan yang sulit, ia tidak mengalah dengan keadaan, ia tidak protes kepada Tuhan, ia tidak bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa ia dipenjarakan, ia tidak meniggalkan Tuhan sedikit pun.  Namun ia tetap menjadi berkat bagi rekan-rekan pelayanannya.  Sungguh luar biasa bukan?
            Melihat kehidupan Paulus, yang tidak menyerah dengan keadaan, yang tidak protes terhadap Tuhan, saya teringat kepada beberapa tokoh lainnya di dalam Alkitab.  Yang pertama adalah Ayub.  Tentu saudara mengetahui mengenai kisah Ayub yang pernah mengalami penderitaan hidup.  Ia adalah seorang yang saleh dan jujur.  Ia bukanlah orang jahat, namun suatu saat penderitaan bertubi-tubi menimpanya.  Anak-anak dan semua kekayaannya lenyap dalam satu hari.  Ia pun mengalami penyakit yang luar biasa.  Isterinya menyuruhnya untuk mengutuki Allah.  Bahkan sahabat-sahabatnya pun pada akhirnya menuduh bahwa Ayub telah melakukan suatu dosa.
            Apakah Ayub menyerah dengan keadaan?  Apakah Ayub mengutuki Allah?  Apakah Ayub tidak lagi percaya kepada Allah?  Kita tahu bahwa Ayub tidak menyerah dengan keadaan dan ia tidak mengutuki Allah.  Ayub tidak ragu akan rencana Allah yang terindah dalam dirinya meskipun ia diperhadapkan dalam kondisi yang tidak mengenakkan.  Malahan di dalam penderitaan yang ia alami, Ayub berkata, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayb. 1:21)  Ia tahu bahwa sebenarnya ia tidak mempunyai apa-apa.  Segala harta dan bahkan anak-anaknya adalah titipan dari Tuhan untuk ia kelola.  Ia tahu bahwa jika Tuhan yang telah memberi semuanya itu, lalu kemudian kembali mengambil apa yang telah Tuhan titipkan kepada Ayub tersebut, maka itu sepenuhnya adalah hak Tuhan.  Dan ia tetap mengucap syukur.  Di akhir kehidupannya, kita tahu bahwa Allah memulihkan keadaan Ayub.
            Tokoh kedua yang mengajar kita untuk tidak menyerah dalam situasi hidup adalah Yusuf.  Yusuf adalah anak kesayangan ayahnya, Yakub.  Ia pernah bermimpi dua kali bahwa ayah, ibu dan saudara-saudaranya akan sujud menyembah kepadanya.  Namun, justru karena itulah ia tidak disukai oleh kakak-kakaknya sehingga kakak-kakaknya berbuat seolah-olah Yusuf diterkam binatang buas padahal Yusuf telah dijual dan dibawa ke Mesir.  Di Mesir, Yusuf menjadi pegawai Potifar.  Namun, karirnya menjadi pegawai Potifar kandas karena ia difitnah oleh istri Potifar, sehingga ia dijebloskan ke dalam penjara.  Beberapa lama kemudian, di penjara ia bertemu dengan juru minum dan juru roti raja, dan oleh pertolongan Tuhan, Yusuf memberitahukan kepada mereka mengenai arti mimpi mereka masing-masing.  Namun, setelah juru minum kembali bekerja di posisinya, ia melupakan Yusuf. 
            Apakah Yusuf memberontak kepada Tuhan?  Apakah Yusuf mempertanyakan kepada Tuhan mengenai mimpi yang telah ia terima waktu ia masih kecil?  Apakah ia pernah mengutuki saudara-saudaranya karena membuat ia seolah-olah tidak dapat mencapai mimpinya?  Tidak saudara.  Dan kita tahu bahwa dua tahun setelah juru minum raja keluar dari penjara, Firaun bermimpi dan tidak seorang pun dapat mengartikan mimpinya.  Maka pada saat itulah juru minuman raja teringat kepada Yusuf.  Yusuf, dengan pertolongan Tuhan dapat mengartikan mimpi Firaun, sehingga ia diangkat menjadi penguasa di Mesir.
            Yusuf tidak membalas dendam kepada saudara-saudaranya yang telah mengakibatkan dia tertimpa menderita.  Namun ia berkata kepada saudara-saudaranya, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (Kej. 50:20).  Yusuf tahu bahwa Allah selalu beserta dengannya.  Bahkan dalam saat yang paling suram pun Allah hadir.  Allah selalu campur tangan dalam kehidupannya dan Allah tidak pernah diam.
            SS, baik Ayub maupun Yusuf tahu bahwa Allah bekerja dalam kehidupannya untuk mendatangkan kebaikan.  Saya rasa mereka pun setuju dengan perkataan Paulus dalam Roma 8:28, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”
            Saudara, bagaimana dengan kehidupan kita sampai pada saat ini?  Sampai saat ini, saya rasa kita masih bisa hidup bebas, tidak seperti Paulus yang dipenjarakan karena pemberitaan Injil.  Kita mungkin tidak seperti Ayub yang kehilangan segala yang ia miliki.  Kita mungkin tidak seperti Yusuf yang seolah kehilangan masa depannya.  Namun, apakah hidup kita tetap memuliakan Allah?
            Beberapa hari lagi kita akan memulai tahun yang baru.  Biasanya, saat akhir tahun adalah saat yang tepat untuk kita bisa berefleksi, melihat kembali kilas balik kehidupan kita selama setahun ini.  Banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan kita, namun apakah kita sudah mengucap syukur atas segala hal yang telah terjadi?  Mengucap syukur atas pimpinan Tuhan atas kehidupan saudara; untuk pekerjaan yang masih saudara tekuni, untuk kesehatan yang masih Tuhan berikan, untuk setiap kesempatan baik dalam hal studi, peningkatan karir, bahkan kesempatan berlibur yang masih Tuhan berikan kepada kita. 
            Saudara, mengucap syukur bukan hanya karena apa yang terjadi dalam hidup kita, namun juga karena apa yang terjadi atas hidup keluarga dan sesama kita.  Mengucap syukur atas keluarga yang boleh diberkati oleh Tuhan, atas anak-anak yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kita didik.  Mengucap syukur untuk para saudara dan sahabat yang peduli terhadap kita.  Mengucap syukur karena ada sahabat atau pun kerabat yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai juruselamat pribadinya.  Oh, banyak hal yang bisa kita syukuri dalam hidup ini, saudara.
            Namun, apakah kita hanya mengucap syukur untuk sesuatu yang baik saja yang terjadi atas diri kita, maupun keluarga dan orang-orang yang kita kasihi?  Mungkin di antara saudara ada yang berkata bahwa, bagaimana saya bisa bersyukur kepada Tuhan, karena tahun ini saya kehilangan orang yang saya kasihi, karir dan pekerjaan saya hancur berantakan, saya kena tipu habis-habisan, saya atau orang yang saya kasihi sakit.  Bagaimana mungkin saya dapat mengucap syukur?
            Saudara, Ayub ketika ia ditimpa kesusahan, ia berkata, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb. 2:10).  Dengan kata lain, Ayub tahu bahwa dalam hal yang buruk pun, Allah tetap bekerja dan Allah tetap mempunyai rencana yang indah bagi kehidupannya.  Sama seperti Yusuf yang walaupun ia pernah sampai pada titik terendah dalam kehidupannya, namun ia tahu bahwa Allah selalu merancangkan yang terbaik bagi orang yang percaya kepada-Nya.
            Kembali mengutip perkataan Paulus, bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap orang percaya.  Pada saat ini mungkin kita belum mengerti, namun yakinlah bahwa setiap hal yang terjadi dalam hidup kita selalu ada campur tangan Allah di dalamnya.  Allah selalu beserta dengan kita, setiap orang yang percaya kepada-Nya.  Saya teringat lagu sekolah minggu yang reff nya berbunyi demikian, “di kanan Kau ada, di kiri Kau ada, di atas dan di bawah Kau ada.  Di suka Kau ada, di duka pun Kau ada, kar’na Engkaulah Yesusku.”  Saudara, Allah selalu hadir dalam setiap naik turun kehidupan kita.  Saat kita bersuka, Allah ada dan Allah pun turut bersuka dan tersenyum.  Saat kita sedih dan menangis pun, Allah ada dan turut menangis bersama dengan kita.  Allah selalu hadir dalam kehidupan kita, baik ketika kita melalui gunung tinggi maupun lembah yang curam, Allah selalu hadir.  Oleh karena itu, mari kita belajar untuk mengucap syukur karena Allah selalu beserta kita, Allah selalu merancangkan yang terbaik bagi setiap orang percaya.
            Selanjutnya, marilah kita mengevaluasi kehidupan kita di hadapan Tuhan.  Apakah sampai saat ini hidup kita sudah memperkenan hati Tuhan atau belum.  Paulus, ketika ia mengevaluasi hidupnya, ia bisa berkata bahwa “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”  Paulus tahu benar bahwa ia telah melakukan apa yang Tuhan mau ia kerjakan dalam kehidupannya.  Saudara, apakah sampai saat ini, kita sudah melakukan apa yang Tuhan inginkan dalam kehidupan kita?  Apakah kita sudah senantiasa berdoa kepada Tuhan dan membaca merenungkan firman Tuhan setiap hari?  Apakah kita sudah melayani Tuhan?  Apakah dalam perkataan, perbuatan dan pikiran kita tercermin Kristus yang hidup di dalam kita? 
            Jika belum berdoa dan membaca firman Tuhan setiap hari, mari kita bertekad dan melaksanakan tekad tersebut di hadapan Tuhan.  Jika kita belum melayani Tuhan, mari belajar untuk melayani-Nya.  Jika hidup kita belum mencerminkan Kristus yang ada dalam diri kita, mari kita belajar untuk menjadi pelaku firman.  Biarlah setiap kita dapat menjadi murid-murid Tuhan yang semakin lama semakin serupa dengan Kristus baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita sehingga nama Tuhan dimuliakan melalui hidup kita dan banyak orang diberkati lewat kehidupan kita.
            Mari, di akhir tahun ini kita sama-sama mengucap syukur atas pimpinan Tuhan dalam hidup kita dan mengevaluasi hidup kita di hadapan Tuhan agar kita boleh menjadi murid-murid Tuhan yang berkenan kepada Tuhan.  Sehingga pada akhirnya kita dapat berkata seperti Paulus berkata, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”  Amin.

Minggu, 30 Desember 2012
Kuta-Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar